“ M E R D E K A k u / M E R D
E K A n y a ”
P E R S P E K T I F K E M E
R D E K A A N
D A L A M R O M A
N B U K A N P A S A R M A L A M
K A R Y A P R A M
O E D Y A A N A N T A T O E R
Oleh Syifa Fauziyah Sholihah*
Pendahuluan
Karya sastra
menyampaikan “pemahaman” tentang kehidupan dengan caranya sendiri, Aristoteles
melihat sastra sebagai suatu karya yang “menyampaikan suatu jenis pengetahuan
yang tidak bisa disampaikan dengan cara lain”(Melani budianta, dkk, 2003: 7).
Karya sastra kebanyakan yang telah lahir menggambarkan kehidupan nyata dengan
diselubungi fiktif belaka. Bagaimana
yang disebut dengan fakta sastra atau fakta yang sesungguhnya.
Pernyataan di
atas jelas memberikan makna serta fungsi dari karya sastra. Karya sastra
memiliki makna dan fungsi yang tersirat dalam tersurat. Makna dan fungsi
tersebut dapat dijadikan sebuah informasi bagi kehidupan secara personal maupun
masyarakat luas.
Adapun di
dalam karya sastra terdapat suatu fakta yang disebut fakta sastra namun lain
halnya dengan fakta yang sesungguhnya, karena fakta sastra merupakan sudut
pandang dari apa yang dialami atau dirasakan oleh si penciptanya. Fakta yang
sesungguhnya ialah suatu kejadian yang benar benar terjadi yang kemungkinan
tertulis dalam sejarah bangsa dan negara kita dan yang kemungkinan juga
ditutupi oleh sejarah itu sendiri.
Kefaktaan
sastra mencakup kehidupan antarmasyarakat, masyarakat dengan orang per orang,
budaya dengan masyarakat, sosial masyarakat, peristiwa yang dialami oleh
masyarakat, dan lainnya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi baik dialami oleh
orang per orang maupun si pencipta karya merupakan suatu timbal balik hubungan
orang-orang itu sendiri. Jika sudut pandang ini diperluas, dapat dinyatakan
karya sastra membahas hubungan peristiwa antar orang per orang yang dialami
pada singkat waktu sejarah kemerdekaan yang secara personal setiap individu
rasakan.
Tetapi lepas
dari masalah realitas dalam arti filsafat pun kenyataan dalam rangka lain
menimbulkan masalah(A.Teeuw, 1984: 226). Dalam hal lain dapat dinyatakan karya
sastra dan kenyataan adalah suatu hubungan yang sangat erat apabila disangkut
pautkan dengan sejarah kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.
Apabila kedua
pernyataan di atas dipadukan, memang karya sastra yang membahas suatu realita
atau kenyataan menjadikan karya sastra adalah media yang menimbulkan masalah.
Karya sastra yang berisikan tentang peristiwa sejarah kemerdekaan bangsa dan
negara Indonesia teramat sangat menimbulkan suatu permasalahan yang sulit.
Apalagi jika si pencipta ialah orang yang secara personal mengalami kebobrokan
kemerdekaan. Si pencipta karya menceritakan apa yang telah ia alami,
menceritakan apa itu sebuah kemerdekaan dalam sudut pandangnya sendiri.
Atas dasar
itulah untuk memahami sudut pandang kemerdekaan yang dialami seorang pencipta
karya sastra kita dapat memperoleh informasi sejarah kemerdekaan bangsa dan
negara Indonesia melalui perspektif kemerdekaan dalam roman Bukan Pasarmalam
karya Pramoedya Ananta Toer.
Kerangka Teori
Untuk lebih
memperjelas fokus masalah yang menjadi objek penulisan ini, maka terlebih
dahulu dirumuskan definisi kerja dari kata-kata kunci dalam tulisan ini.
Istilah
perspektif tidak hanya terbatas pada diri orang secara personal maupun
masyarakat luas. Setidaknya perspektif disini dapat diambil melalui beberapa
pemahaman setiap orang. Pemahaman setiap orang merupakan interpretasi yang
membuahkan ilmu pengetahuan. Dari setiap interpretasi kita dapat mengetahui
apakah perspektif disini merupakan fakta sosial maupun fakta sejarah yang
sesungguhnya.
Perspektif merupakan suatu
kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang sesuatu hal, dengan perspektif orang
akan memandang sesuatu hal berdasarkan cara-cara tertentu, dan cara-cara
tersebut berhubungan dengan asumsi dasar yang menjadi dasarinya, unsur-unsur
pembentuknya dan ruang lingkup apa yang dipandangnya. Perspektif membimbing setiap orang untuk menentukan bagian yang relevan
dengan fenomena yang terpilih dari konsep-konsep tertentu untuk dipandang
secara rasional(Agus Setiaman,
diakses dari http://agussetiaman.wordpress.com
25 November 2008).
Fenomena yang terpilih dalam perspektif ini
merupakan fenomena sejarah kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia, dari
perspektif si pencipta karya sastra kita dapat mengetahui fakta fenomena
tersebut yang kemungkinan tidak tertuliskan dalam buku-buku sejarah yang telah
ada.
Dalam karyanya, Pramoedya Ananta Toer
memberikan perspektif fenomena sejarah kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia
yang telah ia alami maupun orang lain alami. Pramoedya menginginkan bahwasanya
setiap orang berhak mengetahui bagaimana kemerdekaan itu terjadi dan apa yang
disebut kemerdekaan itu sendiri. Setiap orang perlu mengetahui seluruh fakta
realita serta kebohongan-kebohongan yang terjadi dalam sejarah kemerdekaan
bangsa dan negara Indonesia.
Dalam sebuah esei Pramoedya mengatakan “Saya
berharap bahwa pembaca-pembaca di Indonesia, setelah membaca buku saya, merasa
berani, merasa dikuatkan. Dan kalau ini terjadi, saya menganggap tulisan saya
berhasil. Itu adalah suatu kehormatan bagi saya. Lebih berani. Berani. Lebih
berani.”(August Hans den Boef dan kees Snoek, 2008).
Dengan
memperhatikan permasalahan dan tujuan penelitian, dengan melihat penulis dalam
model semiotik. Dalam puitik Aristoteles ditekankan terutama dua model
semiotik: karya sastra sebagai struktur yang menyeluruh dan karya sastra dalam hubungannya
dengan kenyataan(A.Teeuw, 1984: 155). Pencipta atau sastrawan merupakan salah
satu dari sistem tanda, dan fenomena sejarah juga termasuk dalam sistem tanda
atau model semiotik. Dalam model semiotik ini dapat diketahui latar belakang
sosiologis sastrawan, latar belakang psikologis sastrawan, hubungan sastrawan
dengan alam semesta, dan lain sebagainya.
Latar belakang
sosiologis sastrawan berupa struktur sosial dan proses sosial, struktur sosial
adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur yang pokok, yaitu kaidah-kaidah
sosial(norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial,
dan lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara kehidupan
ekonomi, politik, hukum, agama, dan sebagainya. Umar Junus menjabarkan latar
belakang sosial atas enam faktor: asal sosial, kelas sosial, jenis kelamin,
umur, pendidikan, dan pekerjaan(Wahyudi Siswanto, 2008: 3).
Pada tulisan
ini akan dipaparkan biodata atau riwayat hidup dari Pramoedya Ananta Toer.
Latar belakang sosial merupakan riwayat dari sastrawan dan penting dijelaskan
untuk mengetahui kisah yang dialami oleh sastrawan tersebut.
Latar belakang
psikologis sastrawan merupakan perilaku seseorang dipengaruhi dan ditentukan
oleh akal dan jiwanya. Susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan
tingkah laku atau tindakan dari setiap individu manusia disebut kepribadian.
Unsur-unsur kepribadian tersebut adalah pengetahuan, perasaan, dan dorongan
naluri. Suryabrata mengemukakan lebih terperinci lagi bahwa aktifitas manusia
mencakup perhatian, pengamatan, tanggapan, fantasi, ingatan, pikiran, perasaan,
dan motif-motif. Hal ini juga berlaku bagi individu sastrawan(Wahyudi Siswanto,
2008: 12).
Pemaparan
latar belakang psikologis sastrawan penting dicantumkan pada tulisan ini.
Karena latar belakang psikologis mencakup perhatian, pengamatan, tanggapan,
fantasi, ingatan, pikiran, perasaan, dan motif-motif mempermudah untuk
mengetahui apa saja isi perspektif dari sastrawan ini.
Hubungan
sastrawan dengan alam semesta ialah sastrawan memperlakukan kenyataan dan dunia
dengan tiga cara, yaitu manipulatif, artifisial, dan interpretatif.
Kenyataan yang diindra sastrawan dijadikan bahan karya sastranya dengan cara
dimanipulasi. Seorang sastrawan memperlakukan kenyataan yang digunakan sebagai
bahan mentah karya sastranya dengan cara meniru, memperbaiki, menambah, atau
menggabung-gabungkan kenyataan yang ada untuk dimasukkan ke dalam karya
sastranya. Kenyataan yang dijadikan bahan karya sastranya juga dibuat-buat(artifisial).
Selain itu kenyataan yang telah ada telah diinterpretasikan terlebih dahulu
berdasarkan pandangan diri sastrawan itu sebelum dijadikan karya sastra(Wahyudi
Siswanto, 2008: 46).
Dalam hal ini
bagaimana proses sastrawan menciptakan karya sastranya yaitu seorang Pramoedya
Ananta Toer membuat karya sastranya berdasarkan kenyataan yang ia alami dan
dengan ditambahi oleh unsur fiktif. Kenyataan dan fiktif tersebut digabungkan
sesuai dengan sudut pandang ia sendiri.
Kemudian untuk
mendukung model semiotik ini, kajian sastra yang memiliki berbagai pendekatan
yang didasari oleh sistem tanda tertentu. Setiap kajian ada yang menitik
beratkan kajiannya pada diri sastrawan; ada yang memfokuskan dirinya pada karya
sastra. Ada juga yang menitik beratkan kajiannya pada kesesuaian karya sastra
dan alam semesta. Ada juga yang memperhatikan pembaca sastra(Wahyudi Siswanto,
2008: 178).
Beberapa
pendekatan dalam kajian sastra yang akan diteliti pada tulisan ini ialah
pendekatan yang menitikberatkan pada karya sastra disebut pendekatan objektif,
pendekatan yang menitikberatkan pada penulis disebut pendekatan ekspresif,
pendekatan yang menitikberatkan pada kajian terhadap semesta disebut pendekatan
mimetik, pendekatan yang menitikberatkan pada pembaca disebut pragmatik.
Dari beberapa
pendekatan ini ada dua kecenderungan utama yaitu pada pendekatan ekspresif dan
pendekatan mimetik. Karena karya sastra karangan Pamoedya ini sangat
menggambarkan sisi sosiologis dan psikologis dirinya serta penceritaan yang
sesuai dengan apa yang ia alami sendiri.
Pragmatik atau
pengkajian pada pembaca tidak terlalu dipentingkan. Karena secara langsung
ataupun tidak langsung karya Pramoedya ini adalah sebuah karya sastra, pembaca
hanya mampu menilai isi kandungan dari karya ini. Namun, seluruh pendekatan
tersebut meski berbeda pemahaman dan fungsi masih dapat dimanfaatkan secara
bersama-sama.
Pembahasan
Tulisan ini
mencoba mengulas balik kisah sejarah kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.
Berikut sekilas peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa sebelum kemerdekaan.
·
Penjajahan Bangsa Eropa di
Indonesia
Tanaman
rempah-rempah yang tumbuh subur di Indonesia menjadi daya tarik tersendiri bagi
bangsa-bangsa Eropa. Mereka datang berlomba-lomba memperoleh rempah-rempah
tersebut dengan harga murah dan juga berusaha menguasai Indonesia. Diantaranya
bangsa Eropa yang berlayar hingga mencapai Indonesia yaitu Portugis, Spanyol,
Prancis, Inggris, dan Belanda. Tanggal 20 Maret 1602 terbentuklah sebuah
kekuasaan kolonial yang disebut VOC. Bangsa Eropa yang paling lama menjajah
Indonesia adalah Belanda, rakyat Indonesia sangat menderita akibat kerja rodi
dan Sistem Tanam Paksa.
·
Perjuangan Rakyat Melawan
Penjajahan Belanda
Hampir
diseluruh wilayah Indonesia, rakyat melakukan perlawanan terhadap pemerintahan
Belanda. Rakyat tidak senang akan tindakan kesewenang-wenangan dan kekejaman
dari penjajah. Perlawanan tersebut dilakukan dengan membuat baebagai macam
pergerakan-pergerakan ataupun organisasi-organisasi melawan penjajahan. Setiap
organisasi dipimpin oleh tokoh pejuang yang disegani dan dipatuhi para
pengikutnya. Diantaranya, yaitu Patimura, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran
Diponegoro, Pangeran Antasari, Raja Buleleng dan Patih I Gusti Ktut Jelantik,
Si Singamangaraja XII, Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. Mereka adalah tokoh yang
rela mengorbankan harta, jiwa, dan raga untuk rakyat Indonesia.
·
Zaman Pergerakan Nasional
Zaman
pergerakan nasional ditandai dengan munculnya oragnisasi-organisasi yang
bersifat nasional. Organisasi-organisasi tersebut dibentuk oleh para pemuda.
Melalui organisasi pergerakan, perjuangan rakyat menjadi lebih teratur dan
terarah. Tokoh-tokoh pada masa ini mulai menyadari bahwa sangat penting adanya
persatuan dan kesatuan bangsa. Awal terjadinya persatuan dan kesatuan bangsa
adalah lahirnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Kemudian zaman
pergerakan nasional juga ditandai oleh munculnya kelompok terpelajar, meluasnya
semangat kebangsaan, emansipasi wanita, dll.
·
Indonesia Pada Masa
Kedudukan Jepang
Pada tahun
1940-an, kedudukan Belanda semakin terdesak dan terancam oleh posisi tentara
Jepang. Tepat pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah kepada Jepang di
Kalijati, Subang, Jawa Barat. Dengan demikian, kekuasaan Belanda berakhir dan
Indonesia jatuh ke tanga Jepang. Selama menjajah Indonesia, Jepang juga
memperlakukan rakyat Indonesia dengan kejam. Rakyat Indonesia hidup dalam
kesengsaraan dan kelaparan.
·
Perlawanan Rakyat terhadap Jepang
Kekejaman
Jepang membuat rakyat Indonesia sangat menderita. Penderitaan rakyat ini mamacu
kebencian terhadap tentara Jepang. Akibatnya, muncul pemberontakan dan
perlawanan rakyat terhadap tentara Jepang di berbagai daerah, yaitu perlawanan
rakyat Aceh, perlawanan rakyat Singaparna, perlawanan Peta di Blitar, perlawanan
rakyat Biak, perlawanan rakyat Indramayu, perlawanan rakyat Pontianak,
perlawanan Peta di Aceh,dll.
·
Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia
Bangsa
Indonesia meproklamasikan kemerdekaannya pada hari Jumat tanggal 17 Agustus
1945, pukul 10.00. Pernyataan proklamasi dibacakan oleh Ir. Sukarno didampingi
oleh Drs. Moh. Hatta. Bertempat di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta.
Kemerdekaan ini dicapai dengan perjuangan dan pengorbanan para pahlawan kusuma
bangsa.
Itulah
serangkaian peristiwa yang terjadi pada masa sebelum kemerdekaan hingga
kemerdekaan diproklamirkan. Jika dibaca secara teliti, peristiwa yang terjadi
berangsur dengan mudahnya. Indonesia dijajah dan kemudian Indonesia merdeka.
Ada tiga arti
kemerdekaan bagi rakyat Indonesia:
- Merdeka berarti rakyat terbebas dari belenggu kedzaliman.
- Rakyat harus dilepaskan dari beban berat dan diberikan keringan untuk hidup di alam mereka.
- Memberi makanan kepada rakyat yang kelaparan, miskin, dan membawa mereka ke dalam kesejahteraan.
Namun tidak
satupun arti tersebut yang dirasakan oleh rakyat Indonesia, mungkin sudah
berjuta-juta manusia yang mempertanyakan apa itu kemerdekaan, dimana
kemerdekaan, untuk apa kemerdekaan. Lebih sedikitnya kita dapat mengetahui
kemerdekaan yang sebenarnya dalam roman Bukan Pasarmalam karya Pramoedya Ananta
Toer.
Pramoedya
Ananta Toer lahir di Blora, sebuah kota di perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa
Timur, pada 6 Februari 1925. Ia anak sulung dari 9 bersudara. Ayahnya adalah
nasionalis tulen yang sebelum perang ikut dalam berbagai kegiatan, tapi secara
politik tidak tergolong sayap kiri. Gelar bangsawan ‘Mas’ ia coret dari namanya
hingga Pram kecil masih dapat melihat coretan di papan nama di rumah orang
tuanya.
Ayahnya
terbiasa membeli buku dalam lelang umum berkenaan dengan kepergian para
Ambtenar yang dipindahkan ke tempat lain. Sebagai anak umur sepuluh tahun, Pram
untuk pertama kali dalam hidupnya mengalami gejala bahwa penguasa menyta buku,
yaitu koleksi Ayahnya.
Semula ayahnya berdinas pada
pemerintahan Belanda sebagai guru, sesudah itu ia memberikan pelajaran pada
sebuah sekolah swasta nasionalis untuk anak-anak miskin termasuk Pram sendiri.
Setahun kemudian, ia tinggalkan pelajaran itu, kecewa karena sangat dirintangi
oleh penguasa kolonial dan mulai mencari hiburan dengan berjudi.
Selepas
sekolah dasar Pram masuk MULO, karena kemiskinan keluarga ia tidak lebih dari
sampai kelas dua. Memang ia menamatkan pendidikan sekolah teknik di Surabaya.
Sesudah Jepang menduduki Jawa dan ibunya meninggal, ia membiayai keluarga
dengan berjualan rokok dan tembaau beberapa waktu lamanya. Lalu ia meninggalkan
Blora ke Jakarta, kemayoran. Di sana ia belajar mengetik sendiri dan mendapat
pekerjaan sebagai juru ketik di kantor berita Jepang Domei dan dapat mengikuti
pendidikan stenograf. Langsung sesudah proklamasi Republik, Pram ambil aktif
dalam perjuangan kemerdekaan, dalam dinas penerangan tentara yang memberinya
pangkat letnan dua pada pertengahan tahun 1946. Namun, pada tahun itu juga ia
memutuskan keluar akibat konflik intern hebat.
Mulai
awal 1947, Pram bekerja sebagai redaktur dan penerjemah seksi publikasi
Indonesia dari The Voice of Free Indonesia. Kemudian menerbitkan sebuah
fragmen dari roman Di Tepi Kali Bekasi. Roman ini tidak selesai sebab
dua hari sesudah awal “aksi polisionil pertama”, 21 Juli 1947 Pramoedya
ditangkap, disiksa, dan dipindahkan ke pulau Edam ditahan selama dua setengah
tahun. Pada akhirnya sesudah Konferensi Meja Bundar, ia dibebaskan dalam
rombongan terakhir.
Dinas
penerangan Belanda mengambil barang-barang pribadi miliknya. Walau permohonan
untuk mengembalikan telah datang dari berbagai pihak, pemerintah Belanda belum
mengembalikan naskah-naskah serta buku-buku milik Pram tersebut.
Pramoedya
Ananta Toer secara personal mengalami sendiri masa-masa penjajahan dari Belanda
hingga Jepang. Ia mengerti arti sesungguhnya dari kemerdekaan yang terjadi.
Karya sastranya adalah penceritaan terhadap diri pribadinya. Pram adalah
seorang penulis diary, kebanyakan dari karya sastranya adalah
kenyataan-kenyataan yang ia alami. Meskipun terdapat unsur-unsur fiktif seperti
nama tokoh yang diubahnya. Pada karyanya roman Bukan Pasarmalam, ia
menceritakan bagaimana kemerdekaan yang sebenarnya terjadi. Berikut peristiwa
yang terjadi sebelum Pram membuat roman Bukan Pasarmalam.
Pram
sempat bergabung di dalam anggota Seniman Gelanggang, yang pada saat itu ia
bekerja sebagai juru ketik di kantor berita Jepang Domei. Seniman Gelanggang
adalah seniman yang memeriahkan kemerdekaan, mereka membuat karya sastra demi
karya sastra itu sendiri. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah rakyat belum
merdeka. Dengan demikian Pram membuat sebuah karya yang berisikan penggugatan
sosial pada masa itu. Jassin berpendapat bahwa Bukan Pasarmalam menampakkan
gugatan sosial zamannya, mengenai nasib amtenar kecil, guru Republik yang enam
bulan tidak mendapatkan gaji, ditambah dengan prasangka dan kepercayaan mistik
yang masih kental(Yudiono K.S., Jakarta: 2007).
Bukan
Pasarmalam ialah roman yang menceritakan seputar perjalanan seorang anak yang
pulang kampung karena ayahnya jatuh sakit. Dari seputar perjalanan itu,
terungkap berbagai peristiwa-peristiwa yang tak pernah teranggap dalam
gebyar-gebyar revolusi. Dikisahkan bagaimana keperwiraan revolusi yang melunak
ketika dihadapkan pada kenyataan sehari-hari: ia menemukan ayahnya seorang guru
penuh bakti tergolek sakit karena TBC, anggota keluarganya yang miskin, rumah
tuanya yang sudah tidak kuat lagi menahan arus waktu, dan menghadapi istri yang
cerewet.
Roman
ini tidak hanya mengkritik kekerdilan diri sendiri, tapi juga menunjukan muka
para jendral atau pembesar-pembesar negeri pasca kemerdekaan yang hanya syik
mengurus dan memperkaya diri sendiri. Kemudian berakhir dengan meninggalnya
sang ayah dengan kesan yang penuh misteri.
Pada
awalnya Pram membuat roman ini dengan tujuan memberi tahu kepada masyarakat
luas bahwa belum ada yang dirasakan sebagaimana disebut dengan kemerdekaan.
Banyak rakyat yang miskin, kelaparan, terlantar, sengsara di Indonesia. Secara
nasionalisme dapat dikatakan jiwa Pram adalah jiwa sosial. Namun
dipersalahgunakan oleh kelompok-kelompok komunis yang mengira bahwa Pram adalah
termasuk anggota PKI dikarenakan ia bergabung di dalam LEKRA wadah sastrawan
yang berpaham realistis sosial. Pram tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah
PKI.
Kemerdekan
yang digembor-gemborkan sama halnya seperti berita burung belaka. Yang
merasakan kemerdekaan adalah mereka para pejabat-pejabat pemerintah yang sibuk
memperkaya dirinya sendiri, yang tidak perduli akan nasib rakyatnya. Padahal
rakyat adalah bagian dari pembela-pembela kemerdekaan pada saat penjajahan.
Faktanya
roman ini juga menceritakan kisah Pram secara pribadi, ayahnya yang seorang
guru, keluarganya yang miskin, dan masa kehidupannya dari Blora ke Jakarta
hingga kembali ke Blora di akibatkan oleh ayahnya yang sudah tua kini dilanda
penyakit. Pram adalah salah satu dari sekian banyak rakyat di Indonesia yang
tidak benar-benar mengalami kemerdekaan. Protes-protes sosial juga telah
dituangkan dalam romannya.
“Panas waktu itu. Dan mobil
yang berpuluh ribu banyaknya itu menyemburkan debu pada badan yang berkeringat.
Dan debu yang merupakan berbagai macam campuran: reak kering, tahi kuda,
hancuran ban mobil, hancuran ban sepeda, dan becak dan barangkali juga hancuran
ban sepedaku sendiri yang kemarin meluncuri jalan-jalan yang kulalui kini. Dan
debu yang berpancaragam itu melekat bersama keringat seperti lem pada badan.
Ini membuatku memaki sedikit-sedikit saja-dalam hati.
Ya, sekiranya aku punya
mobil-sekiranya, kataku-semua ini mungkin takkan terjadi. Dikala itu juga aku
berpendapat; bahwa orang yang punya itu banyak menimbulkan kesusahan pada yang
tak punya. Dan mereka tak merasai ini.”
Protes sosial ini mungkin
ditunjukkan kepada pemerintah-pemerintah yang memiliki harta kekayaan melimpah
namun menyusahkan rakyatnya sendiri dengan mengambil pajak-pajak. Pajak-pajak
yang diiming-imingi dari rakyat untuk rakyat kembali pada rakyat itu sendiri
adalah kebohongan. Justru pemerintah mengambil pajak-pajak tersebut padahal
pajak adalah hak rakyat.
Setiap pembagian babak
cerita terdapat peristiwa-peristiwa penjajahan yang dialami Pram secara pribadi
seperti kenangan-kenangannya sewaktu perjalanan kembali ke Blora untuk menemui
ayahnya yang sakit.
“Dan aku meneruskan
kenangan-kenanganku kembali. Kranji. Tambun. Cikarang-rangkaian pertahanan
sebelum aksi militer pertama...”
Dalam akhir penceritaan roman ini terdapat fakta-fakta yang
menyayat hati Pram, fakta akan peristiwa yang sesungguhnya terjadi pada ayahnya
hingga beliau meninggal dunia. Sungguh kejamnya penjajahan, politik,
pemerintahan, dan kemerdekaan
Pada roman ini Pramoedya
adalah seorang yang shidiq akan kemerdekaan, ia memiliki sudut pandang
kemerdekaan yang sangat bertolak belakang dari kemerdekaan pada arti yang
sebenarnya. Kisahnya adalah fakta, faktanya adalah sudut pandang yang ia
berikan dengan bukti-bukti peristiwa yang ia alami.
Kembali pada awal pembahasan
tentang sekilas sejarah kemerdekaan Indonesia, apakah begitu simpelnya
peristiwa-peristiwa itu terjadi hingga merdeka. Sungguh dapat dikatakan
munafik, karena tidak ada sama sekali kemerdekaan itu bagi rakyat Indonesia.
Mungkin yang sesungguhnya terjadi yaitu:
·
Rakyat dijajah Bangsa Eropa, khususnya Belanda.
·
Rakyat dijajah Bangsa Jepang.
·
Rakyat dijajah Bangsanya sendiri, Indonesia.
Merdeka Indonesia adalah
merdeka rakyat Indonesia.
Penutup
Demikian
penggambaran kemerdekaan Indonesia yang benar-benar belum merdeka. Pramoedya
Ananta Toer dengan karyanya Bukan Pasarmalam seakan-akan memberikan informasi
kepada kita sejarah kemerdekaan yang sebenarnya. Selayaknya bangsa yang telah
merdeka adalah bangsa yang mampu mensejahterakan rakyatnya sendiri.
Untuk
apa adanya rakyat di suatu negara jika rakyat tidak dipentingkan, rakyat adalah
salah satu pendukung terbentuknya sebuah negara. Sekiranya pemerintah harus
mementingkan nasib rakyat. Bagaimana jika rakyatnya sudah tidak sanggup hidup
di negaranya sendiri. Sungguh apakah itu sebuah negara.
Dapat
disimpulkan dalam roman Bukan Pasarmalam, bahwa tidak hanya Pram sendiri yang
tidak merasakan kemerdekaan, seluruh rakyat Indonesia pun tidak merasakan
kemerdekaan. Lalu apakah arti sebuah revolusi, apakah arti sebuah demokrasi,
apakah arti sebuah proklamasi, apakah arti sebuah kemerdekaan.
Banyak peristiwa-peristiwa
yang dialami Pram yang kemungkinan tidak tercantum dalam buku-buku sejarah yang
kita miliki sejak SD, SMP, SMA, ataupun buku-buku sejarah lainnya. Jadi, apa
itu kemerdekaan, dimana kemerdekaan, dan untuk apa kemerdekaan mungkin hanya
dapat kita realisasikan menurut pemikiran dan pengalaman setiap manusia secara
pribadi.
Daftar Pustaka
Agussetiaman.wordpress.com
25 November 2008
Den boef, August Hans dan Snoek, Kees. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir:
esei dan wawancara dengan
Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.
Budianta, Melani, dkk. Membaca
Sastra (Pengantar Memahami
sastra untuk
Perguruan Tinggi). Magelang:
IndonesiaTera, 2003.
S. Yudiono k. Pengantar sejarah SASTRA INDONESIA.
Jakarta: Grasindo, 2007.
Siswanto, Wahyudi. PENGANTAR TEORI SASTRA. Jakarta:
Grasindo, 2008.
Teeuw, A. SASTRA DAN ILMU SASTRA. Jakarta: Pustaka Jaya,
1984.
Toer, Pramoedya A. Roman BUKAN PASARMALAM. Jakarta:
Lentera
Dipantara, 2003.
Zuber, Ahmad dan Hakim, Lukman. Aktif Belajar IPS untuk
Kelas V SD dan MI.
Solo:
Platinum, 2009.
*Mahasiswa
Semester II Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Pendidikan, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar