Minggu, 02 Desember 2012

Analisis Novel "Bukan Pasar Malam" Karya Pramoedya Ananta Toer



  M E R D E K A   k u   /   M E R D E K A   n y a ”
P E R S P E K T I F   K E M E R D E K A A N
D A L A M   R O M A N   B U K A N   P A S A R M A L A M
K A R Y A   P R A M O E D Y A   A N A N T A   T O E R
 Oleh Syifa Fauziyah Sholihah*

Pendahuluan
Karya sastra menyampaikan “pemahaman” tentang kehidupan dengan caranya sendiri, Aristoteles melihat sastra sebagai suatu karya yang “menyampaikan suatu jenis pengetahuan yang tidak bisa disampaikan dengan cara lain”(Melani budianta, dkk, 2003: 7). Karya sastra kebanyakan yang telah lahir menggambarkan kehidupan nyata dengan diselubungi fiktif  belaka. Bagaimana yang disebut dengan fakta sastra atau fakta yang sesungguhnya.
Pernyataan di atas jelas memberikan makna serta fungsi dari karya sastra. Karya sastra memiliki makna dan fungsi yang tersirat dalam tersurat. Makna dan fungsi tersebut dapat dijadikan sebuah informasi bagi kehidupan secara personal maupun masyarakat luas.
Adapun di dalam karya sastra terdapat suatu fakta yang disebut fakta sastra namun lain halnya dengan fakta yang sesungguhnya, karena fakta sastra merupakan sudut pandang dari apa yang dialami atau dirasakan oleh si penciptanya. Fakta yang sesungguhnya ialah suatu kejadian yang benar benar terjadi yang kemungkinan tertulis dalam sejarah bangsa dan negara kita dan yang kemungkinan juga ditutupi oleh sejarah itu sendiri.
Kefaktaan sastra mencakup kehidupan antarmasyarakat, masyarakat dengan orang per orang, budaya dengan masyarakat, sosial masyarakat, peristiwa yang dialami oleh masyarakat, dan lainnya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi baik dialami oleh orang per orang maupun si pencipta karya merupakan suatu timbal balik hubungan orang-orang itu sendiri. Jika sudut pandang ini diperluas, dapat dinyatakan karya sastra membahas hubungan peristiwa antar orang per orang yang dialami pada singkat waktu sejarah kemerdekaan yang secara personal setiap individu rasakan.
Tetapi lepas dari masalah realitas dalam arti filsafat pun kenyataan dalam rangka lain menimbulkan masalah(A.Teeuw, 1984: 226). Dalam hal lain dapat dinyatakan karya sastra dan kenyataan adalah suatu hubungan yang sangat erat apabila disangkut pautkan dengan sejarah kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.
Apabila kedua pernyataan di atas dipadukan, memang karya sastra yang membahas suatu realita atau kenyataan menjadikan karya sastra adalah media yang menimbulkan masalah. Karya sastra yang berisikan tentang peristiwa sejarah kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia teramat sangat menimbulkan suatu permasalahan yang sulit. Apalagi jika si pencipta ialah orang yang secara personal mengalami kebobrokan kemerdekaan. Si pencipta karya menceritakan apa yang telah ia alami, menceritakan apa itu sebuah kemerdekaan dalam sudut pandangnya sendiri.
Atas dasar itulah untuk memahami sudut pandang kemerdekaan yang dialami seorang pencipta karya sastra kita dapat memperoleh informasi sejarah kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia melalui perspektif kemerdekaan dalam roman Bukan Pasarmalam karya Pramoedya Ananta Toer.





Kerangka Teori
Untuk lebih memperjelas fokus masalah yang menjadi objek penulisan ini, maka terlebih dahulu dirumuskan definisi kerja dari kata-kata kunci dalam tulisan ini.
            Istilah perspektif tidak hanya terbatas pada diri orang secara personal maupun masyarakat luas. Setidaknya perspektif disini dapat diambil melalui beberapa pemahaman setiap orang. Pemahaman setiap orang merupakan interpretasi yang membuahkan ilmu pengetahuan. Dari setiap interpretasi kita dapat mengetahui apakah perspektif disini merupakan fakta sosial maupun fakta sejarah yang sesungguhnya.
            Perspektif merupakan suatu kumpulan asumsi maupun keyakinan tentang sesuatu hal, dengan perspektif orang akan memandang sesuatu hal berdasarkan cara-cara tertentu, dan cara-cara tersebut berhubungan dengan asumsi dasar yang menjadi dasarinya, unsur-unsur pembentuknya dan ruang lingkup apa yang dipandangnya. Perspektif membimbing setiap orang untuk menentukan bagian yang relevan dengan fenomena yang terpilih dari konsep-konsep tertentu untuk dipandang secara rasional(Agus Setiaman, diakses dari http://agussetiaman.wordpress.com 25 November 2008).
Fenomena yang terpilih dalam perspektif ini merupakan fenomena sejarah kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia, dari perspektif si pencipta karya sastra kita dapat mengetahui fakta fenomena tersebut yang kemungkinan tidak tertuliskan dalam buku-buku sejarah yang telah ada.
Dalam karyanya, Pramoedya Ananta Toer memberikan perspektif fenomena sejarah kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia yang telah ia alami maupun orang lain alami. Pramoedya menginginkan bahwasanya setiap orang berhak mengetahui bagaimana kemerdekaan itu terjadi dan apa yang disebut kemerdekaan itu sendiri. Setiap orang perlu mengetahui seluruh fakta realita serta kebohongan-kebohongan yang terjadi dalam sejarah kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia.
Dalam sebuah esei Pramoedya mengatakan “Saya berharap bahwa pembaca-pembaca di Indonesia, setelah membaca buku saya, merasa berani, merasa dikuatkan. Dan kalau ini terjadi, saya menganggap tulisan saya berhasil. Itu adalah suatu kehormatan bagi saya. Lebih berani. Berani. Lebih berani.”(August Hans den Boef dan kees Snoek, 2008).
Dengan memperhatikan permasalahan dan tujuan penelitian, dengan melihat penulis dalam model semiotik. Dalam puitik Aristoteles ditekankan terutama dua model semiotik: karya sastra sebagai struktur yang menyeluruh dan karya sastra dalam hubungannya dengan kenyataan(A.Teeuw, 1984: 155). Pencipta atau sastrawan merupakan salah satu dari sistem tanda, dan fenomena sejarah juga termasuk dalam sistem tanda atau model semiotik. Dalam model semiotik ini dapat diketahui latar belakang sosiologis sastrawan, latar belakang psikologis sastrawan, hubungan sastrawan dengan alam semesta, dan lain sebagainya.
Latar belakang sosiologis sastrawan berupa struktur sosial dan proses sosial, struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial(norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok sosial, dan lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara kehidupan ekonomi, politik, hukum, agama, dan sebagainya. Umar Junus menjabarkan latar belakang sosial atas enam faktor: asal sosial, kelas sosial, jenis kelamin, umur, pendidikan, dan pekerjaan(Wahyudi Siswanto, 2008: 3).
Pada tulisan ini akan dipaparkan biodata atau riwayat hidup dari Pramoedya Ananta Toer. Latar belakang sosial merupakan riwayat dari sastrawan dan penting dijelaskan untuk mengetahui kisah yang dialami oleh sastrawan tersebut.
Latar belakang psikologis sastrawan merupakan perilaku seseorang dipengaruhi dan ditentukan oleh akal dan jiwanya. Susunan unsur-unsur akal dan jiwa yang menentukan tingkah laku atau tindakan dari setiap individu manusia disebut kepribadian. Unsur-unsur kepribadian tersebut adalah pengetahuan, perasaan, dan dorongan naluri. Suryabrata mengemukakan lebih terperinci lagi bahwa aktifitas manusia mencakup perhatian, pengamatan, tanggapan, fantasi, ingatan, pikiran, perasaan, dan motif-motif. Hal ini juga berlaku bagi individu sastrawan(Wahyudi Siswanto, 2008: 12).
Pemaparan latar belakang psikologis sastrawan penting dicantumkan pada tulisan ini. Karena latar belakang psikologis mencakup perhatian, pengamatan, tanggapan, fantasi, ingatan, pikiran, perasaan, dan motif-motif mempermudah untuk mengetahui apa saja isi perspektif dari sastrawan ini.
Hubungan sastrawan dengan alam semesta ialah sastrawan memperlakukan kenyataan dan dunia dengan tiga cara, yaitu manipulatif, artifisial, dan interpretatif. Kenyataan yang diindra sastrawan dijadikan bahan karya sastranya dengan cara dimanipulasi. Seorang sastrawan memperlakukan kenyataan yang digunakan sebagai bahan mentah karya sastranya dengan cara meniru, memperbaiki, menambah, atau menggabung-gabungkan kenyataan yang ada untuk dimasukkan ke dalam karya sastranya. Kenyataan yang dijadikan bahan karya sastranya juga dibuat-buat(artifisial). Selain itu kenyataan yang telah ada telah diinterpretasikan terlebih dahulu berdasarkan pandangan diri sastrawan itu sebelum dijadikan karya sastra(Wahyudi Siswanto, 2008: 46).
Dalam hal ini bagaimana proses sastrawan menciptakan karya sastranya yaitu seorang Pramoedya Ananta Toer membuat karya sastranya berdasarkan kenyataan yang ia alami dan dengan ditambahi oleh unsur fiktif. Kenyataan dan fiktif tersebut digabungkan sesuai dengan sudut pandang ia sendiri.
Kemudian untuk mendukung model semiotik ini, kajian sastra yang memiliki berbagai pendekatan yang didasari oleh sistem tanda tertentu. Setiap kajian ada yang menitik beratkan kajiannya pada diri sastrawan; ada yang memfokuskan dirinya pada karya sastra. Ada juga yang menitik beratkan kajiannya pada kesesuaian karya sastra dan alam semesta. Ada juga yang memperhatikan pembaca sastra(Wahyudi Siswanto, 2008: 178).
Beberapa pendekatan dalam kajian sastra yang akan diteliti pada tulisan ini ialah pendekatan yang menitikberatkan pada karya sastra disebut pendekatan objektif, pendekatan yang menitikberatkan pada penulis disebut pendekatan ekspresif, pendekatan yang menitikberatkan pada kajian terhadap semesta disebut pendekatan mimetik, pendekatan yang menitikberatkan pada pembaca disebut pragmatik.
Dari beberapa pendekatan ini ada dua kecenderungan utama yaitu pada pendekatan ekspresif dan pendekatan mimetik. Karena karya sastra karangan Pamoedya ini sangat menggambarkan sisi sosiologis dan psikologis dirinya serta penceritaan yang sesuai dengan apa yang ia alami sendiri.
Pragmatik atau pengkajian pada pembaca tidak terlalu dipentingkan. Karena secara langsung ataupun tidak langsung karya Pramoedya ini adalah sebuah karya sastra, pembaca hanya mampu menilai isi kandungan dari karya ini. Namun, seluruh pendekatan tersebut meski berbeda pemahaman dan fungsi masih dapat dimanfaatkan secara bersama-sama.







Pembahasan
Tulisan ini mencoba mengulas balik kisah sejarah kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia. Berikut sekilas peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa sebelum kemerdekaan.
·         Penjajahan Bangsa Eropa di Indonesia
Tanaman rempah-rempah yang tumbuh subur di Indonesia menjadi daya tarik tersendiri bagi bangsa-bangsa Eropa. Mereka datang berlomba-lomba memperoleh rempah-rempah tersebut dengan harga murah dan juga berusaha menguasai Indonesia. Diantaranya bangsa Eropa yang berlayar hingga mencapai Indonesia yaitu Portugis, Spanyol, Prancis, Inggris, dan Belanda. Tanggal 20 Maret 1602 terbentuklah sebuah kekuasaan kolonial yang disebut VOC. Bangsa Eropa yang paling lama menjajah Indonesia adalah Belanda, rakyat Indonesia sangat menderita akibat kerja rodi dan Sistem Tanam Paksa.
·         Perjuangan Rakyat Melawan Penjajahan Belanda
Hampir diseluruh wilayah Indonesia, rakyat melakukan perlawanan terhadap pemerintahan Belanda. Rakyat tidak senang akan tindakan kesewenang-wenangan dan kekejaman dari penjajah. Perlawanan tersebut dilakukan dengan membuat baebagai macam pergerakan-pergerakan ataupun organisasi-organisasi melawan penjajahan. Setiap organisasi dipimpin oleh tokoh pejuang yang disegani dan dipatuhi para pengikutnya. Diantaranya, yaitu Patimura, Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Raja Buleleng dan Patih I Gusti Ktut Jelantik, Si Singamangaraja XII, Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. Mereka adalah tokoh yang rela mengorbankan harta, jiwa, dan raga untuk rakyat Indonesia.
·         Zaman Pergerakan Nasional
Zaman pergerakan nasional ditandai dengan munculnya oragnisasi-organisasi yang bersifat nasional. Organisasi-organisasi tersebut dibentuk oleh para pemuda. Melalui organisasi pergerakan, perjuangan rakyat menjadi lebih teratur dan terarah. Tokoh-tokoh pada masa ini mulai menyadari bahwa sangat penting adanya persatuan dan kesatuan bangsa. Awal terjadinya persatuan dan kesatuan bangsa adalah lahirnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Kemudian zaman pergerakan nasional juga ditandai oleh munculnya kelompok terpelajar, meluasnya semangat kebangsaan, emansipasi wanita, dll.
·         Indonesia Pada Masa Kedudukan Jepang
Pada tahun 1940-an, kedudukan Belanda semakin terdesak dan terancam oleh posisi tentara Jepang. Tepat pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Dengan demikian, kekuasaan Belanda berakhir dan Indonesia jatuh ke tanga Jepang. Selama menjajah Indonesia, Jepang juga memperlakukan rakyat Indonesia dengan kejam. Rakyat Indonesia hidup dalam kesengsaraan dan kelaparan.
·         Perlawanan Rakyat terhadap Jepang
Kekejaman Jepang membuat rakyat Indonesia sangat menderita. Penderitaan rakyat ini mamacu kebencian terhadap tentara Jepang. Akibatnya, muncul pemberontakan dan perlawanan rakyat terhadap tentara Jepang di berbagai daerah, yaitu perlawanan rakyat Aceh, perlawanan rakyat Singaparna, perlawanan Peta di Blitar, perlawanan rakyat Biak, perlawanan rakyat Indramayu, perlawanan rakyat Pontianak, perlawanan Peta di Aceh,dll.

·         Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Bangsa Indonesia meproklamasikan kemerdekaannya pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945, pukul 10.00. Pernyataan proklamasi dibacakan oleh Ir. Sukarno didampingi oleh Drs. Moh. Hatta. Bertempat di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Kemerdekaan ini dicapai dengan perjuangan dan pengorbanan para pahlawan kusuma bangsa.
Itulah serangkaian peristiwa yang terjadi pada masa sebelum kemerdekaan hingga kemerdekaan diproklamirkan. Jika dibaca secara teliti, peristiwa yang terjadi berangsur dengan mudahnya. Indonesia dijajah dan kemudian Indonesia merdeka.
Ada tiga arti kemerdekaan bagi rakyat Indonesia:
  1. Merdeka berarti rakyat terbebas dari belenggu kedzaliman.
  2. Rakyat harus dilepaskan dari beban berat dan diberikan keringan untuk hidup di alam mereka.
  3. Memberi makanan kepada rakyat yang kelaparan, miskin, dan membawa mereka ke dalam kesejahteraan.
Namun tidak satupun arti tersebut yang dirasakan oleh rakyat Indonesia, mungkin sudah berjuta-juta manusia yang mempertanyakan apa itu kemerdekaan, dimana kemerdekaan, untuk apa kemerdekaan. Lebih sedikitnya kita dapat mengetahui kemerdekaan yang sebenarnya dalam roman Bukan Pasarmalam karya Pramoedya Ananta Toer.



            Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, sebuah kota di perbatasan Jawa Tengah dengan Jawa Timur, pada 6 Februari 1925. Ia anak sulung dari 9 bersudara. Ayahnya adalah nasionalis tulen yang sebelum perang ikut dalam berbagai kegiatan, tapi secara politik tidak tergolong sayap kiri. Gelar bangsawan ‘Mas’ ia coret dari namanya hingga Pram kecil masih dapat melihat coretan di papan nama di rumah orang tuanya.
            Ayahnya terbiasa membeli buku dalam lelang umum berkenaan dengan kepergian para Ambtenar yang dipindahkan ke tempat lain. Sebagai anak umur sepuluh tahun, Pram untuk pertama kali dalam hidupnya mengalami gejala bahwa penguasa menyta buku, yaitu koleksi Ayahnya.
            Semula ayahnya berdinas pada pemerintahan Belanda sebagai guru, sesudah itu ia memberikan pelajaran pada sebuah sekolah swasta nasionalis untuk anak-anak miskin termasuk Pram sendiri. Setahun kemudian, ia tinggalkan pelajaran itu, kecewa karena sangat dirintangi oleh penguasa kolonial dan mulai mencari hiburan dengan berjudi.
            Selepas sekolah dasar Pram masuk MULO, karena kemiskinan keluarga ia tidak lebih dari sampai kelas dua. Memang ia menamatkan pendidikan sekolah teknik di Surabaya. Sesudah Jepang menduduki Jawa dan ibunya meninggal, ia membiayai keluarga dengan berjualan rokok dan tembaau beberapa waktu lamanya. Lalu ia meninggalkan Blora ke Jakarta, kemayoran. Di sana ia belajar mengetik sendiri dan mendapat pekerjaan sebagai juru ketik di kantor berita Jepang Domei dan dapat mengikuti pendidikan stenograf. Langsung sesudah proklamasi Republik, Pram ambil aktif dalam perjuangan kemerdekaan, dalam dinas penerangan tentara yang memberinya pangkat letnan dua pada pertengahan tahun 1946. Namun, pada tahun itu juga ia memutuskan keluar akibat konflik intern hebat.
            Mulai awal 1947, Pram bekerja sebagai redaktur dan penerjemah seksi publikasi Indonesia dari The Voice of Free Indonesia. Kemudian menerbitkan sebuah fragmen dari roman Di Tepi Kali Bekasi. Roman ini tidak selesai sebab dua hari sesudah awal “aksi polisionil pertama”, 21 Juli 1947 Pramoedya ditangkap, disiksa, dan dipindahkan ke pulau Edam ditahan selama dua setengah tahun. Pada akhirnya sesudah Konferensi Meja Bundar, ia dibebaskan dalam rombongan terakhir.
            Dinas penerangan Belanda mengambil barang-barang pribadi miliknya. Walau permohonan untuk mengembalikan telah datang dari berbagai pihak, pemerintah Belanda belum mengembalikan naskah-naskah serta buku-buku milik Pram tersebut.
            Pramoedya Ananta Toer secara personal mengalami sendiri masa-masa penjajahan dari Belanda hingga Jepang. Ia mengerti arti sesungguhnya dari kemerdekaan yang terjadi. Karya sastranya adalah penceritaan terhadap diri pribadinya. Pram adalah seorang penulis diary, kebanyakan dari karya sastranya adalah kenyataan-kenyataan yang ia alami. Meskipun terdapat unsur-unsur fiktif seperti nama tokoh yang diubahnya. Pada karyanya roman Bukan Pasarmalam, ia menceritakan bagaimana kemerdekaan yang sebenarnya terjadi. Berikut peristiwa yang terjadi sebelum Pram membuat roman Bukan Pasarmalam.
            Pram sempat bergabung di dalam anggota Seniman Gelanggang, yang pada saat itu ia bekerja sebagai juru ketik di kantor berita Jepang Domei. Seniman Gelanggang adalah seniman yang memeriahkan kemerdekaan, mereka membuat karya sastra demi karya sastra itu sendiri. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah rakyat belum merdeka. Dengan demikian Pram membuat sebuah karya yang berisikan penggugatan sosial pada masa itu. Jassin berpendapat bahwa Bukan Pasarmalam menampakkan gugatan sosial zamannya, mengenai nasib amtenar kecil, guru Republik yang enam bulan tidak mendapatkan gaji, ditambah dengan prasangka dan kepercayaan mistik yang masih kental(Yudiono K.S., Jakarta: 2007).
            Bukan Pasarmalam ialah roman yang menceritakan seputar perjalanan seorang anak yang pulang kampung karena ayahnya jatuh sakit. Dari seputar perjalanan itu, terungkap berbagai peristiwa-peristiwa yang tak pernah teranggap dalam gebyar-gebyar revolusi. Dikisahkan bagaimana keperwiraan revolusi yang melunak ketika dihadapkan pada kenyataan sehari-hari: ia menemukan ayahnya seorang guru penuh bakti tergolek sakit karena TBC, anggota keluarganya yang miskin, rumah tuanya yang sudah tidak kuat lagi menahan arus waktu, dan menghadapi istri yang cerewet.
            Roman ini tidak hanya mengkritik kekerdilan diri sendiri, tapi juga menunjukan muka para jendral atau pembesar-pembesar negeri pasca kemerdekaan yang hanya syik mengurus dan memperkaya diri sendiri. Kemudian berakhir dengan meninggalnya sang ayah dengan kesan yang penuh misteri.
            Pada awalnya Pram membuat roman ini dengan tujuan memberi tahu kepada masyarakat luas bahwa belum ada yang dirasakan sebagaimana disebut dengan kemerdekaan. Banyak rakyat yang miskin, kelaparan, terlantar, sengsara di Indonesia. Secara nasionalisme dapat dikatakan jiwa Pram adalah jiwa sosial. Namun dipersalahgunakan oleh kelompok-kelompok komunis yang mengira bahwa Pram adalah termasuk anggota PKI dikarenakan ia bergabung di dalam LEKRA wadah sastrawan yang berpaham realistis sosial. Pram tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah PKI.
            Kemerdekan yang digembor-gemborkan sama halnya seperti berita burung belaka. Yang merasakan kemerdekaan adalah mereka para pejabat-pejabat pemerintah yang sibuk memperkaya dirinya sendiri, yang tidak perduli akan nasib rakyatnya. Padahal rakyat adalah bagian dari pembela-pembela kemerdekaan pada saat penjajahan.
            Faktanya roman ini juga menceritakan kisah Pram secara pribadi, ayahnya yang seorang guru, keluarganya yang miskin, dan masa kehidupannya dari Blora ke Jakarta hingga kembali ke Blora di akibatkan oleh ayahnya yang sudah tua kini dilanda penyakit. Pram adalah salah satu dari sekian banyak rakyat di Indonesia yang tidak benar-benar mengalami kemerdekaan. Protes-protes sosial juga telah dituangkan dalam romannya.

“Panas waktu itu. Dan mobil yang berpuluh ribu banyaknya itu menyemburkan debu pada badan yang berkeringat. Dan debu yang merupakan berbagai macam campuran: reak kering, tahi kuda, hancuran ban mobil, hancuran ban sepeda, dan becak dan barangkali juga hancuran ban sepedaku sendiri yang kemarin meluncuri jalan-jalan yang kulalui kini. Dan debu yang berpancaragam itu melekat bersama keringat seperti lem pada badan. Ini membuatku memaki sedikit-sedikit saja-dalam hati.
Ya, sekiranya aku punya mobil-sekiranya, kataku-semua ini mungkin takkan terjadi. Dikala itu juga aku berpendapat; bahwa orang yang punya itu banyak menimbulkan kesusahan pada yang tak punya. Dan mereka tak merasai ini.”
Protes sosial ini mungkin ditunjukkan kepada pemerintah-pemerintah yang memiliki harta kekayaan melimpah namun menyusahkan rakyatnya sendiri dengan mengambil pajak-pajak. Pajak-pajak yang diiming-imingi dari rakyat untuk rakyat kembali pada rakyat itu sendiri adalah kebohongan. Justru pemerintah mengambil pajak-pajak tersebut padahal pajak adalah hak rakyat.
Setiap pembagian babak cerita terdapat peristiwa-peristiwa penjajahan yang dialami Pram secara pribadi seperti kenangan-kenangannya sewaktu perjalanan kembali ke Blora untuk menemui ayahnya yang sakit.
“Dan aku meneruskan kenangan-kenanganku kembali. Kranji. Tambun. Cikarang-rangkaian pertahanan sebelum aksi militer pertama...”
Dalam akhir penceritaan roman ini terdapat fakta-fakta yang menyayat hati Pram, fakta akan peristiwa yang sesungguhnya terjadi pada ayahnya hingga beliau meninggal dunia. Sungguh kejamnya penjajahan, politik, pemerintahan, dan kemerdekaan
Pada roman ini Pramoedya adalah seorang yang shidiq akan kemerdekaan, ia memiliki sudut pandang kemerdekaan yang sangat bertolak belakang dari kemerdekaan pada arti yang sebenarnya. Kisahnya adalah fakta, faktanya adalah sudut pandang yang ia berikan dengan bukti-bukti peristiwa yang ia alami.
Kembali pada awal pembahasan tentang sekilas sejarah kemerdekaan Indonesia, apakah begitu simpelnya peristiwa-peristiwa itu terjadi hingga merdeka. Sungguh dapat dikatakan munafik, karena tidak ada sama sekali kemerdekaan itu bagi rakyat Indonesia. Mungkin yang sesungguhnya terjadi yaitu:
·         Rakyat dijajah Bangsa Eropa, khususnya Belanda.
·         Rakyat dijajah Bangsa Jepang.
·         Rakyat dijajah Bangsanya sendiri, Indonesia.
Merdeka Indonesia adalah merdeka rakyat Indonesia.










Penutup
            Demikian penggambaran kemerdekaan Indonesia yang benar-benar belum merdeka. Pramoedya Ananta Toer dengan karyanya Bukan Pasarmalam seakan-akan memberikan informasi kepada kita sejarah kemerdekaan yang sebenarnya. Selayaknya bangsa yang telah merdeka adalah bangsa yang mampu mensejahterakan rakyatnya sendiri.
            Untuk apa adanya rakyat di suatu negara jika rakyat tidak dipentingkan, rakyat adalah salah satu pendukung terbentuknya sebuah negara. Sekiranya pemerintah harus mementingkan nasib rakyat. Bagaimana jika rakyatnya sudah tidak sanggup hidup di negaranya sendiri. Sungguh apakah itu sebuah negara.
            Dapat disimpulkan dalam roman Bukan Pasarmalam, bahwa tidak hanya Pram sendiri yang tidak merasakan kemerdekaan, seluruh rakyat Indonesia pun tidak merasakan kemerdekaan. Lalu apakah arti sebuah revolusi, apakah arti sebuah demokrasi, apakah arti sebuah proklamasi, apakah arti sebuah kemerdekaan.
Banyak peristiwa-peristiwa yang dialami Pram yang kemungkinan tidak tercantum dalam buku-buku sejarah yang kita miliki sejak SD, SMP, SMA, ataupun buku-buku sejarah lainnya. Jadi, apa itu kemerdekaan, dimana kemerdekaan, dan untuk apa kemerdekaan mungkin hanya dapat kita realisasikan menurut pemikiran dan pengalaman setiap manusia secara pribadi.






Daftar Pustaka
Agussetiaman.wordpress.com 25 November 2008

Den boef, August Hans dan Snoek, Kees. Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir:
esei dan wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.

Budianta, Melani, dkk. Membaca Sastra (Pengantar Memahami sastra  untuk
Perguruan Tinggi). Magelang: IndonesiaTera, 2003.

S. Yudiono k. Pengantar sejarah SASTRA INDONESIA. Jakarta: Grasindo, 2007.

Siswanto, Wahyudi. PENGANTAR TEORI SASTRA. Jakarta: Grasindo, 2008.

Teeuw, A. SASTRA DAN ILMU SASTRA. Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.

Toer, Pramoedya A. Roman BUKAN PASARMALAM. Jakarta: Lentera
Dipantara, 2003.

Zuber, Ahmad dan Hakim, Lukman. Aktif Belajar IPS untuk Kelas V SD dan MI.
            Solo: Platinum, 2009.


*Mahasiswa Semester II Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Pendidikan, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar