Minggu, 02 Desember 2012

Analisis Tragedi Buah Apel "Saman dan Fear of Flying"



Review Hasil Bacaan
dari Analisis Tragedi Buah Apel
Perbandingan Antara Saman dan Fear of Flying
Oleh : Syifa Fauziyah S 1111013000107
PBSI 3c
Rahman mengungkapkan bahwa tujuan ia menganalisis bukan karena pertimbangan mutu yang lebih baik dengan karya sastra yang sama-sama membahas masalah seksualitas dan bukan karena kurun waktu yang cukup jauh berbeda.  Namun, karena ia ingin membahas lebih dalam penggambaran inti masalah seksualitas yang tertuang dalam novel Saman dan Fear of Flying.
Cara Rahman menganalisis kedua novel ini yaitu memulainya pada bab kesatu dengan menggunakan konsep histori. Ia menceritakan kembali sejarah terbitnya novel Saman sehingga menjadi sebuah kritikan pada tiap-tiap perkumpulan sastra sampai acara-acara gosip di televisi dengan penjelasan yang cukup singkat. Kemudian ia merincikan rumusan masalah pada paragraf-paragraf berikutnya, apa tujuan ia menganalisis kedua novel ini dan memberikan beberapa tanggapan-tanggapan yang muncul dari orang lain dan dirinya sendiri.
Kemudian pada bab kedua Rahman memberikan sinopsis dari yang pertama yaitu sinopsis novel Saman. Paragraf kedua, Rahman mengidentifikasi Saman dengan memperkenalkan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya dan menjelaskan bagaimana sudut pandang cerita Saman dimulai dan konfliknya. Paragraf ketiga terdapat perbandingan penokohan antara Saman dan Fear of Flying yaitu banyaknya tokoh yang terdapat pada Saman namun tidak untuk Fear of flying yang hanya mempunyai tiga tokoh utama saja dan diikuti sedikit sinopsis tentang Fear of Flying.
Paragraf keempat, Rahman menjelaskan alur yang dituangkan dalam Saman dan Fear of flying yang memiliki kesamaan alur yaitu menggunakan alur linier atau alur campuran. Selanjutnya perbandingan kerumitan narasi pada kedua novel ini, Saman yang memiliki banyak karakter sedangkan Fear of Flying hanya tertuju pada satu narasi. Disini telah dijelaskan pula tujuan dari Fear of Flying yang memang dibuat untuk menyerukan suara-suara wanita AS yang menerima monopoli dari kaum laki-laki saat itu. Sama dengan Fear of Flying, paragraf berikutnya dijelaskan pula tujuan Saman yang menceritakan atas kuasa laki-laki yang berhak menamai atas benda-benda dan keadaan.
Paragraf kelima dan selanjutnya, disuguhi tanggapan-tanggapan beberapa ahli yang menganalisis tentang sastra-satra feminis. Kegelisahan pengarang-pengarang serta kritikus atas karya yang dibuat oleh pengarang feminis yang mengekspresikan karyanya dengan sungguh mengerikan dan tidak sesuai untuk kaum perempuan. Serta banyaknya pertanyaan-pertanyaan terserirat atas tuduhan kaum perempuan yang dikuasai oleh kaum laki-laki.
Bab ketiga dan keempat inti dari tujuan analisis Rahman terungkap, ia menjelaskan bagaimana hubungan heteroseksual yang terjadi pada tokoh-tokoh dalam Saman maupun Fear of Flying. Ia menceritakan maslah-masalah seksual dengan sudut pandang dirinya sebagai pembaca dengan memberikan argumen dari beberapa dialog-dialog yang terdapat pada kedua novel ini.
Hubungan heteroseksual yang sama-sama terjadi pada Saman dan Fear of Flying sungguh sangat menyimpang dari kenyataan yang ada. Meskipun tujuan dari kedua novel ini untuk menyerukan suara kaum perempuan atas penindasan kaum laki-laki namun bahasa yang dituangkannya cukup mengerikan dan jauh diluar penalaran manusia. Contohnya yaitu bagaimana pemberontakan Shakuntala yang merobek selaput darahnya sendiri dan mengirimkannya dengan perantara anjing kepada raksasa yang ia kasihi dan memiliki obsesi tentang tubuhnya, juga bagaimana hubungan seksualitas yang terjadi antara Isadora dan pasangannya karena ingin menunjukan kekuatan dan kuasanya, serta hubungan seksualitas yang terjadi antara Yasmin dan Saman.
Terakhir pada bab kelima dan keenam yaitu tanggapan-tanggapan kritikus atas kedua novel ini. Dimulai dengan salah satu argumen yang berbunyi “Penulis-penulis perempuan, muda usia, berlomba mencabul-cabulkan karya, asyik menggarap wilayah selangkang dan sekitarnya dalam Gerakan Syahwat Merdeka/Dari halaman-halaman buku mereka menyebar hawa yang mirip aroma bangkai anak tikus telantar tiga hari diselokan pasar desa/aku melihat orang-orang menutup hidung dan jijik karenanya. Jijik malu aku memikirkannya (Taufiq Ismail, 2003).Meskipun argumen itu tidak menjadi satu keseluruhan tanggapan atas kedua novel ini namun cukup menjadi tanggapan yang sukses mewakili atas keberadaan novel-novel yang muncul dengan masalah seksual bukan hanya Saman dan Fear of Flying.
Baik Saman maupun Fear of Flying sama-sama memiliki segi pemasaran yang baik tetapi juga memicu berbagai tanggapan dan reaksi-reaksi penolakan karena mengangkat masalah seks dengan bahasa-bahasa yang tabu.
Medy Lukito salah satu penulis buku berjudul “Perempuan dan Sastra Seksual”, mempertanyakan mutu karya satra penulisan perempuan ini karena penggunaan bahasa yang terbuka belum tentu mendukung nilai sastra suatu karya”. Tersirat bahwa disini terdapat suatu “Bahasa Tertutup” sebagai penentu mutu karya sastra. Beberapa penulis lain juga mengungkapkan mutu karya sastra perempuan yang memilih karya dengan tema seks.
Susan Sontag “The Pornographic Imagination” menyatakan keprihatinannya pada penulis-penulis perempuan ini, bahwa karya sastra yang mangangkat seks sebagai temanya ialah bukan sebuah pornografi atau semacamnya. Namun, sebuah gambaran sosial psikologis dan masalah moral pada penulisnya itu sendiri. Lain di AS, Fear of Flying mangalami banyak komentar-komentar serupa dari kalangan penulis, kritikus, dan juga masyarakat sebagai pembacanya.
Saman dan Fear of Flying, meskipun memiliki perbedaan konteks budaya penciptaan namun cukup menarik untuk melihat kreativitas penciptaan pengarangnya yang memiliki tanggapan hampir sama dan bentuk penciptaan, penggunaan bahasa, serta bentuk-bentuk baru lainnya. Kedua novel ini menjadi contoh buruk karena telah memainkan batas-batas tabu. Tetapi juga dapat menjadi contoh bagi karya-karya selanjutnya agar menata ulang kata-kata dan memberi batasan ruang sebelum menjadi yang terlarang bagi penulis perempuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar