Review
Hasil Bacaan
dari
Analisis Tragedi Buah Apel
Perbandingan
Antara Saman dan Fear of Flying
Oleh
: Syifa Fauziyah S 1111013000107
PBSI
3c
Rahman
mengungkapkan bahwa tujuan ia menganalisis bukan karena pertimbangan mutu yang
lebih baik dengan karya sastra yang sama-sama membahas masalah seksualitas dan
bukan karena kurun waktu yang cukup jauh berbeda. Namun, karena ia ingin membahas lebih dalam
penggambaran inti masalah seksualitas yang tertuang dalam novel Saman dan Fear
of Flying.
Cara
Rahman menganalisis kedua novel ini yaitu memulainya pada bab kesatu dengan
menggunakan konsep histori. Ia menceritakan kembali sejarah terbitnya novel
Saman sehingga menjadi sebuah kritikan pada tiap-tiap perkumpulan sastra sampai
acara-acara gosip di televisi dengan penjelasan yang cukup singkat. Kemudian ia
merincikan rumusan masalah pada paragraf-paragraf berikutnya, apa tujuan ia
menganalisis kedua novel ini dan memberikan beberapa tanggapan-tanggapan yang
muncul dari orang lain dan dirinya sendiri.
Kemudian
pada bab kedua Rahman memberikan sinopsis dari yang pertama yaitu sinopsis
novel Saman. Paragraf kedua, Rahman mengidentifikasi Saman dengan
memperkenalkan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya dan menjelaskan bagaimana sudut
pandang cerita Saman dimulai dan konfliknya. Paragraf ketiga terdapat
perbandingan penokohan antara Saman dan Fear of Flying yaitu banyaknya tokoh
yang terdapat pada Saman namun tidak untuk Fear of flying yang hanya mempunyai
tiga tokoh utama saja dan diikuti sedikit sinopsis tentang Fear of Flying.
Paragraf
keempat, Rahman menjelaskan alur yang dituangkan dalam Saman dan Fear of flying
yang memiliki kesamaan alur yaitu menggunakan alur linier atau alur campuran.
Selanjutnya perbandingan kerumitan narasi pada kedua novel ini, Saman yang
memiliki banyak karakter sedangkan Fear of Flying hanya tertuju pada satu
narasi. Disini telah dijelaskan pula tujuan dari Fear of Flying yang memang
dibuat untuk menyerukan suara-suara wanita AS yang menerima monopoli dari kaum
laki-laki saat itu. Sama dengan Fear of Flying, paragraf berikutnya dijelaskan
pula tujuan Saman yang menceritakan atas kuasa laki-laki yang berhak menamai
atas benda-benda dan keadaan.
Paragraf
kelima dan selanjutnya, disuguhi tanggapan-tanggapan beberapa ahli yang
menganalisis tentang sastra-satra feminis. Kegelisahan pengarang-pengarang
serta kritikus atas karya yang dibuat oleh pengarang feminis yang mengekspresikan
karyanya dengan sungguh mengerikan dan tidak sesuai untuk kaum perempuan. Serta
banyaknya pertanyaan-pertanyaan terserirat atas tuduhan kaum perempuan yang
dikuasai oleh kaum laki-laki.
Bab
ketiga dan keempat inti dari tujuan analisis Rahman terungkap, ia menjelaskan
bagaimana hubungan heteroseksual yang terjadi pada tokoh-tokoh dalam Saman
maupun Fear of Flying. Ia menceritakan maslah-masalah seksual dengan sudut
pandang dirinya sebagai pembaca dengan memberikan argumen dari beberapa
dialog-dialog yang terdapat pada kedua novel ini.
Hubungan
heteroseksual yang sama-sama terjadi pada Saman dan Fear of Flying sungguh
sangat menyimpang dari kenyataan yang ada. Meskipun tujuan dari kedua novel ini
untuk menyerukan suara kaum perempuan atas penindasan kaum laki-laki namun
bahasa yang dituangkannya cukup mengerikan dan jauh diluar penalaran manusia.
Contohnya yaitu bagaimana pemberontakan Shakuntala yang merobek selaput
darahnya sendiri dan mengirimkannya dengan perantara anjing kepada raksasa yang
ia kasihi dan memiliki obsesi tentang tubuhnya, juga bagaimana hubungan
seksualitas yang terjadi antara Isadora dan pasangannya karena ingin menunjukan
kekuatan dan kuasanya, serta hubungan seksualitas yang terjadi antara Yasmin
dan Saman.
Terakhir
pada bab kelima dan keenam yaitu tanggapan-tanggapan kritikus atas kedua novel
ini. Dimulai dengan salah satu argumen yang berbunyi “Penulis-penulis
perempuan, muda usia, berlomba mencabul-cabulkan karya, asyik menggarap wilayah
selangkang dan sekitarnya dalam Gerakan Syahwat Merdeka/Dari halaman-halaman
buku mereka menyebar hawa yang mirip aroma bangkai anak tikus telantar tiga
hari diselokan pasar desa/aku melihat orang-orang menutup hidung dan jijik
karenanya. Jijik malu aku memikirkannya (Taufiq Ismail, 2003).Meskipun argumen
itu tidak menjadi satu keseluruhan tanggapan atas kedua novel ini namun cukup
menjadi tanggapan yang sukses mewakili atas keberadaan novel-novel yang muncul
dengan masalah seksual bukan hanya Saman dan Fear of Flying.
Baik
Saman maupun Fear of Flying sama-sama memiliki segi pemasaran yang baik tetapi
juga memicu berbagai tanggapan dan reaksi-reaksi penolakan karena mengangkat masalah
seks dengan bahasa-bahasa yang tabu.
Medy
Lukito salah satu penulis buku berjudul “Perempuan dan Sastra Seksual”,
mempertanyakan mutu karya satra penulisan perempuan ini karena penggunaan
bahasa yang terbuka belum tentu mendukung nilai sastra suatu karya”. Tersirat
bahwa disini terdapat suatu “Bahasa Tertutup” sebagai penentu mutu karya
sastra. Beberapa penulis lain juga mengungkapkan mutu karya sastra perempuan
yang memilih karya dengan tema seks.
Susan
Sontag “The Pornographic Imagination” menyatakan keprihatinannya pada
penulis-penulis perempuan ini, bahwa karya sastra yang mangangkat seks sebagai
temanya ialah bukan sebuah pornografi atau semacamnya. Namun, sebuah gambaran
sosial psikologis dan masalah moral pada penulisnya itu sendiri. Lain di AS,
Fear of Flying mangalami banyak komentar-komentar serupa dari kalangan penulis,
kritikus, dan juga masyarakat sebagai pembacanya.
Saman
dan Fear of Flying, meskipun memiliki perbedaan konteks budaya penciptaan namun
cukup menarik untuk melihat kreativitas penciptaan pengarangnya yang memiliki
tanggapan hampir sama dan bentuk penciptaan, penggunaan bahasa, serta
bentuk-bentuk baru lainnya. Kedua novel ini menjadi contoh buruk karena telah
memainkan batas-batas tabu. Tetapi juga dapat menjadi contoh bagi karya-karya
selanjutnya agar menata ulang kata-kata dan memberi batasan ruang sebelum
menjadi yang terlarang bagi penulis perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar