Latar
belakang
Sastra
bandingan, dalam penelitian umum serta dalam kaitannya dengan sejarah ataupun bidang ilmu lain, merupakan
bagian dari sastra. Di dalamnya terdapat upaya bagaiman menghubungkan sastra yang
satu dengn yang lain, bagaiman pengaruh antar keduanya, serta apa yang dapat
diambil dan apa yang diberikannya. Atas dasar inilah penelitian dalam sastra
bandingan bersifat berpindah dari satu sastra ke sastra yang lain, kemudian
dicari benang merahnya. Terkadang perpindahan ini bias dari segi lafadz-lafadz
bahasa, tema, serta gambaran yang di perlihatkan sastrawan dalam tema, ataupun
hubungan dengan karya sastra lain.
Rumusan
masalah
1. Apakah landasan intertekstual?
2. Apa pengertian hipogram?
3. Bagaimana transformasi teks?
4. Bagaimana cara membandingkan puisi lama
(syair dan pantun)?
5. Bagaimana cara membandingkan prosa lama
(dongeng dan hikayat)?
6. Bagaimana membandingkan sastra sejarah?
Tujuan
1. Menjelaskan tentang landasan intekstual
2. Menjelaskan pengertian hipogram
3. Mengetahui secara terperinci tentang
transformasi teks
4. Menjelaskan perbandingan puisi lama
5. Menjelaskan perbandingan prosa lama
6. Menjelaskan perbandingan sastra sejarah
BAB II
PEMBAHASAN
1. TEORI INTERTEKSTUAL
Nurgiyantoro (1992:50) mengatakan bahwa kajian intertekstual merupakan
terhadap sejumlah teks sastra yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan
tertentu. Mengacu pendapat Nurgiyantoro tersebut, dapat dikatakan bahwa kajian
intertekstual mencakup sastra bandingan, yaitu studi hubungan antara dua kesusastraan
atau lebih (Wellek dan Warren, 1990 :49).
Secara luas interteks diartikan
sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Penelitian
dilakukan dengan cara melakukan hubungan-hubungan bermakna d antara dua teks
atau lebih. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan,
melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik sebagai parodi maupun
negasi.
Menurut Riffaterre (1978: 5)
pendekatan suatu karya sastra di satu pihak adalah dialektik antara teks dan
pembaca, dan di pihak lain adalah dialektik antara tataran mimetik dan tataran
semiotik. Lebih jauh Riffaterre menjelaskan
bahwa pembaca sebagai pemberi makna harus mulai dengan menemukan arti (meaning)
unsur-unsurnya, yaitu kata-kata berdasar fungsi bahasa sebagai alat
komunikasi yang mimetik (mimetic function), tetapi kemudian harus
ditingkatkan ke tataran semiotik, yaitu kode karya sastra harus dibongkar
secara struktural (decoding) atas dasar signifinance, yang hanya
dapat dipahami dengan kompetensi linguistik (linguistic competence),
kompetensi kesastraan (literary competence), dan terutama dalam
hubungannya dengan teks lain. Hal ini disebabkan oleh karena membaca karya
sastra pada dasarnya adalah membina atau membangun acuan. Adapun
acauan itu didapat dari pengalaman membaca teks-teks lain dalam sistem
konvensi kesastraan. Dengan demikian suatu sajak (baca: karya sastra) baru
bermakna penuh dalam hubungannya atau pertentangannya dengan karya sastra lain.
Karya sastra lain yang menunjukkan hubungan antar teks yang menjadi acuannya
disebut hipogram (hypogram). Dalam hubungan antar teks tersebut
terdapat dua hal yang dikemukakan oleh Riffaterre (1978: 5), yaitu:7 (1)
ekspansi (expansion), dan (2) konversi (conversion). Ekspansi
adalah perluasan atau pengembangan dari hipogram, sedangkan konversi adalah
pemutar balikan hipogram atau matriksnya. Di samping itu, Partini Sardjono
(l986: 63) menambah dua hal yang telah dikemukakan oleh Riffaterre tersebut,
yaitu: (3) modifikasi (modification) atau pengubahan, dan (4) ekserp (exerpt).
Lebih lanjut Partini Sardjono menjelaskan bahwa modifikasi biasanya merupakan
manipulasi pada tataran linguistik, yaitu manipulasi kata atau urutan kata
dalam kalimat; pada tataran kesastraan ialah manipulasi tokoh (protagonis) atau
plot cerita. Ekserp artinya intisari suatu
unsur atau episode dari hipogram.
Menurut teori
interteks, pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan atas pemahaman
terhadap karya-karya terdahulu. Oleh karena itulah, secara praktis aktivitas
interteks terjadi melalui dua cara yaitu : (a) membaca dua teks atau lebih
secara berdampingan pada saat yang sama, (b) hanya membaca sebuah teks tetapi
dilatarbelakangi oleh teks-teks yang lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya.
Hubungan Intertekstual
Dalam hal hubungan sejarah antarteks
itu, perlu diperhatikan prinsip intertektualitas. Hal ini ditunjukkan oleh
Rifaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry (1978) bahwa sajak baru
bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain. Hubungan ini dapat berupa
persamaan atau pertentangan. Selanjutnya dkatakan Rifaterre (1978:11,23) bahwa
sajak (teks sastra) yang menjadi latar karya sastra sesudahnya itu itu disebut hipogram
(Pradopo 2005: 167).
Julia Kristeva (dalam Culler,
1977:139) menegaskan bahwa setiap teks itu merupakan penyerapan atau
transformasi teks-teks lain. Sebuah sajak itu merupakan penyerapan dan
tranformasi hipogramnya. Dengan ungkapan lain, bagi Kristeva, masuknya teks ke
dalam teks lain adalah hal yang biasa terjadi dalam karya sastra, sebab pada
hakikatnya suatu teks merupakan bentuk absorsi dan transformasi dari sejumlah
teks lain, sehingga terlihat sebagai suatu mozaik (Ali Imron: 2005:80).
Dalam realitasnya, karya sastra yang
muncul kemudian ada yang bersifat menentang gagasan atau ide sentral
hipogramnya, ada yang justru menguatkan atau mendukung, namun ada juga yang
memperbarui gagasan yang ada dalam hipogram
Prinsip
intertekstual merupakan salah satu sarana pemberian makna terhadap sebuah teks
sastra (sajak). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu selalu menanggapi teks-teks lain yang ditulis
sebelumnya. Dalam meanggapiteks itu penyair mempunyai pikiran-pikiran,
gagasan-gagasan, dan konsep estetik sendiri yang ditentukan oleh horizon
harapannya, yaitu pemikiran-pemikiran, konsep estetik, dan pengetahuan tentang
sastra yang dimilikinya. Semuanya itu ditentukan oleh pengetahuan yang didapat
olehnya yang tak terlepas dari pandangan-pandangan dunia dan kondisi serta
situasi zamannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar